Sambungan Dari bagian 2, Peristiwa ketiga
ZIARAH MENCARI BERKAH
Seharusnya Mas Ganjar lebih mensyukuri hidupnya. Keadaan ekonomi keluarga kami boleh dibilang tidak ada kekurangan. Rumah dan perabotannya, mobil, beberapa hektar tanah dan sawah di berbagai lokasi telah kami miliki. Sementara usahanya tetap berjalan baik walaupun keadaan ekonomi umumnya sedang mengalami kesulitan yang besar. Tetapi dia selalu merasa kurang, selalu resah dan gelisah. Sampai-sampai dia nggak pernah lagi menyempatkan untuk menggauli aku sebagai pengisi kerinduan serta menyalurkan libidoku yang relatip masih tinggi ini. Aku sih mencoba memaklumi sepanjang upaya untuk meraih harta yang lebih banyak lagi itu dilakukan secara nalar yang sehat, bukan dengan yang dia selalu tempuh selama ini.
Setiap ada masalah dia bukan memperbaiki cara kerjanya dan berdo’a tetapi dia pergi ke dukun-lah, orang sakti-lah, tidur di kuburan-lah, berendam di kali-lah. Aku sungguh tidak mengerti dari mana dia belajar cara-cara seperti itu. Minggu depan ini rencana dia akan ziarah ke sebuah makam keramat Mbah Rogo di desa Melati di lereng Gunung Merapi. Dia minta aku menemaninya. Menurut Mas Ganjar yang diberi tahu oleh “orang tua”nya yang diberi tahu oleh “orang tua”nya lagi yang diberi tahu oleh “orang tuan”nya lagi lagi dan seterusnya, Mbah Rogo adalah prajurit Diponegoro yang kalah perang kemudian bertapa di lereng Gunung Merapi tempat dia dimakamkan kini. Karena kesaktiannya banyak orang yang punya hajat berziarah tidur di samping makamnya. Dia bilang bahwa para jenderal, para menteri, para gubernur dan bupati yang meraih sukses pasti sebelumnya ziarah dan tidur di samping makam Mbah Rogo itu. Aku tertawa bingung dan geli, katanya sakti kok kalah perang. Dan tak lagi bisa tertahan ketawaku meledak saat Mas Ganjar juga berniat tidur di samping kuburan Mbah Rogo.
Kalau soal jalan sih, aku senang-senang saja, hitung-hitung rekreasi, apalagi ke gunung, yang sudah jadi hobby petualanganku sejak SMP dulu. Setiap liburan sekolah mainanku nggak lain camping ke gunung, sampai teman-temanku menjuluki aku sebagai “peri gunung”. Aku bilang jangan ajak aku di kuburannya, nanti malahan aku masuk angin jadi merepotkan. Mas Ganjar menghiburku, bahwa walaupun di lereng Gunung Merapi, di desa Melati itu sudah didirikan hotel berbintang karena para kerabat para jendral, menteri dan macam-macam tadi biasanya ikut mengantarkan mereka yang berniat ziarah. Aku dijanjikan untuk nginap saja di hotel berbintang itu.
Singkat kata, pada jam 5 sore di suatu hari yang telah ditetapkan sebuah mobil Kijang di mana Mas Ganjar bersama istrinya, aku, nampak memasuki gerbang desa Melati. Mas Ganjar yang nyopir seharian itu tidak menunjukkan kelelahan. AC mobil kami matikan karena udara desa ini sangat sejuk dan segar. Bahkan aku merasa kedinginan.
Dengan penuh semangat dia menuju alamat rumah dimana temannya yang juga datang dari Jakarta telah lebih dahulu tiba dan menunggu di sana. Sesudah tanya sana-sini akhirnya kami memasuki halaman sebuah rumah joglo yang luas dan indah. Dan semakin indah karena dari beranda rumah itu kami bisa menyaksikan puncak Gunung Merapi yang selalu mengeluarkan asapnya.
Sesudah memarkir mobil kami menemui seseorang yang kebetulan berada di situ, Mas Ganjar menanyakan apakah Mas Tardjo yang temannya sudah berada disini. Orang tadi bergegas masuk dan tak lama kemudian keluar disertai dua orang lain. Yang satu gagah dan tinggi besar dengan kumisnya yang tebal melintang dan yang lain biasa-biasa saja. Mereka menyambut hangat Mas Ganjar yang kemudian memperkenalkan aku pada Mas Tardjo, ternyata yang berkumis melintang dan Mas Sardi penduduk asli dari desa itu. Aku agak terganggu pada cara memandang Mas Tardjo pada diriku. Matanya sepertinya hendak menelanjangi tubuhku. Aku mudah tergetar dengan pandangan lelaki semacam itu. Walaupun aku berusaha untuk tidak menunjukkan kegugupanku tak urung jantungku berdegup kencang juga. Aku paham dan sering mengalami bahwa pada umumnya lelaki kalau memandang aku selalu memandang dari segi tubuhku. Aku memang tidak cantik, tetapi setiap orang baik lelaki atau perempuan selalu memuji aku sebagai wanita yang manis dan seksi. Apalagi kalau aku pakai celan jeans seperti sekarang ini. Sehingga aku tidak begitu heran saat Mas Tardjo memandangi aku sepertinya ingin menikmati tubuhku.
Kemudian Mas Tardjo bersama Mas Sardi menujukkan kamar kami di rumah itu. Aku langsung komplain pada suamiku, Mas Ganjar, yang katanya aku akan diinapkan di hotel berbintang. Dia tidak bisa menjawab dengan jelas kecuali bahwa hotel yang dimaksud masih dalam perencanaan. Sebentar lagi, katanya dengan enteng. Aku jadi agak sebel.
Tetapi ketika kami memasuki kamar di rumah joglo itu seketika sebelku hilang. Kamar ini bukan main indahnya. Dengan perabot dan dekorasi tradisional dari jendelaku kembali aku bisa menikmati Gunung Merapi yang mengepulkan asapnya itu. Aku langsung senang dan kerasan. Aku keluarkan dan gantung baju-bajuku untuk ganti selama di perjalanan ini. Sementara Mas Ganjar mengatur rencananya yang mulai malam ini akan “prihatin”an, makan, minum dan tidur di samping kuburan Mbah Rogo selama 3 hari 3 malam berturut-turut sampai hari Jum’at Kliwon yang kebetulan juga malam bulan purnama yang diyakininya sebagai hari yang paling keramat.
Sebelum pergi ke makam yang lokasi dan pucuk atapnya nampak dari rumah joglo ini Mas Ganjar pesan kalau aku memerlukan sesuatu bisa minta bantuan Mas Sardi yang selalu berada di joglo ini pula. Selebihnya Mas Ganjar tahu persis bahwa aku adalah perempuan yang sangat percaya diri karena dia adalah partnerku setiap kali kami naik gunung dan berbagai petualangan yang lain jaman sama-sama masih remaja di SMP dulu.
Sepergi Mas Tardjo aku duduk sendiri di pendopo dalam cahaya lampu minyak di meja kecil di depanku menikmati sejuknya lereng Gunung Merapi ini. Aku senang dan bahagia berkesempatan mengalami suasana indahnya pedesaan seperti ini. Dari arah timur bulan menjelang purnama muncul di langit cerah ini Sesekali dari kegelapan sedikit ke atas sana nampak lelehan panas yang sangat spektakuler, itulah lahar Merapi yang terus muntah membawa berkah dan sesekali bencana bagi masyarakat di sekitar gunung ini. Ah, alangkah nikmatnya seandainya Mas Ganjar bukan tidur di kuburan tetapi duduk disampingku sini sambil memeluk memberi kehangat pada tubuhku. Terus terang hampir 2 bulan lebih dia nggak pernah menyentuhku apalagi menggauliku. Sehari-hari pikirannya hanya dikejar uang, harta, uang, harta, uang, harta, uang.
Tiba-tiba aku jadi ingat pandangan haus mata Mas Tardjo tadi. Aku maklum, seorang lelaki kalau sudah lebih dari 1 minggu meninggalkan istrinya pasti memandang siapapun atau bahkan apapun akan nampak cantik adanya. Dan dari yang aku dengar tadi hari ini adalah hari yang kesepuluh dia berada di desa Melati ini. Tentu saat dia melihatku serasa melihat bidadari jatuh dari langit. Bulu kudukku berdiri, sepertinya ada angin dingin yang meniupkan birahi di malam dining di lereng Merapi ini. Kulihat dalam cahaya bulan sesorang bergegas memasuki halaman joglo. Ternyata dia Mas Tardjo. Dia langsung masuk rumah, mungkin ada sesuatu yang mau diambil dari kamarnya. Tetapi beberapa menit kemudian aku mendengar langkah kaki memasuki lantai pendopo dan mendekat ketempat aku duduk sendiri ini. Aku tebak pasti dia.
“Bu Ganjar belum ngantuk? Nggak capai sesudah seharian di perjalanan?”.
Kemudian dia duduk di kursi sebelah depanku. Dalam cahaya lampu minyak ini nampak kumisnya yang tebal melintang. Dalam cahaya remang-remang lampu minyak seperti ini aku tidak perlu menyembunyikan wajahku yang terasa bengap karena darahku naik terdorong oleh pikiran-pikiranku tadi dan sedikit banyak juga semakin terdorong saat tiba-tiba Mas Tardjo, lelaki haus ini kini berada sangat dekat denganku.
Terus terang hatiku belum pernah merasa sesepi ini. Dan yang lebih gila lagi belum pernah jantungku bergetar seperti ini saat seorang lelaki yang bukan suamiku ada di dekatku. Mungkin karena malam yang dingin ini, atau karena lampu minyak yang remang-remang di pendopo ini, atau karena cahaya bulan yang menerangi tanah basah halaman joglo ini, atau karena gairah libidoku yang telah lebih dari 2 bulan tak tersalurkan ini. Dan tiba-tiba rasa bahagiaku yang mengawali saat aku duduk di pendopo ini tadi berubah jadi derita dan siksa. Rasa percaya diriku yang tak diragukan oleh Mas Ganjar suamiku kurasakan oleng. Aku kehilangan ketegaranku yang sering kurasakan saat-saat pendakian di karang terjal, tak takut untuk jatuh. Kini aku takut jatuh. Bukan jatuh dari ketinggian, tetapi jatuh dalam sepi dan kehausan yang nisbi. Tanpa terasa air mataku menggenang di pelupuk mataku dan tiba-tiba wajahku tertelungkup di meja kecil di depanku sambil aku menangis sesenggukan. Tentu saja Mas Tardjo kaget. Pertanyaan yang dia lontarkan padaku tadi kujawab dengan tangisanku.
“Kenapa bu, Bu Ganjar sakit?”.
Kemudian dia menghampiriku, menyentuh bahuku, memeluknya, kemudian mengangkat agar aku tegak kembali.
“Sebaiknya Bu Ganjar istrirahat. Mari kuantarkan ke kamar Ibu”.
Aku nggak tahu kenapa aku setuju saja dengan usulannya. Saat aku dibimbingnya untuk berdiri dari kursi dan kemudian sedikit dipapah saat menuju ke kamarku aku merasakan semacam ketenangan dari sebuah tempat perlindungan. Mas Tardjo seakan menggantikan peran Mas Ganjar yang seharusnya dalam saat-saat seperti ini berada di dekatku. Tanpa sadar tanganku berpegangan pada pinggangnya dan seketika rasa hangat tubuhnya mengalir ke tubuhku. Aku merasa kamarku yang hanya beberapa meter dari pendopo seakan demikian jauh.
Perjalanan dalam papahan Mas Tardjo yang hanya beberapa langkah ini seakan bermil-mil. Dan saat berada tepat di depan pintu sepertinya aku masih ingin berjalan lebih jauh lagi, tubuhku semakin menggelendot pada papahan Mas Tardjo yang kemudian dengan sigapnya meraih kakiku kemudian menggendongku memasuki kamar dan menidurkan aku ke ranjang. Tanganku yang otomatis memeluk lehernya saat dia menggendongku tak kulepaskan ketika Mas Tardjo hendak bangkit turun dari ranjangku. Pelukan itu aku pererat bahkan kutarik wajahnya mendekat kewajahku. Aku menginginkan perlindungan yang lebih dari dia. Aku mencium pipinya dan kemudian bibirnya. Aku belum pernah mencium bibir berkumis karena suamiku tidak berkumis. Saat aku merasakan aneh pada bibirku karena kumisnya, Mas Tardjo langsung menyambut ciumanku dengan lumatannya yang aku rasakan sangat nikmat dan sekaligus menyejukkan gejolak birahiku. Malam itu kami benar-benar tidak tidur dan saat pakaian-pakaian kami terlepas dari tubuh kami juga tak sempat memakainya lagi. Menjelang matahari terbit yang ditandai ayam berkokok di dusun Melati di lereng Merapi ini kami tertidur telanjang dalam selimut tebal yang tersedia di ranjang kami. Sejak hari itu, selama 3 hari 3 malam Mas Ganjar “bertapa” di makam, aku dan Mas Tardjo terus menerus mendayung nikmat dalam samudra nafsu birahi kami yang melanda bak badai tornado di lautan bebas.
Dalam perjalanan pulang Mas Ganjar menceritakan bahwa dia mendapatkan wangsit dalam bentuk mimpi saat tertidur di makam. Dia seakan didatangi seorang kakek berjubah putih, dia adalah Mbah Rogo, yang memberikan pesan apabila permintaan Mas Ganjar ingin terpenuhi, dia harus memperbanyak “bertapa” dirumah dan memberikan amal lebih banyak kepada para karyawannya melalui gaji yang cukup dan membayar mereka tepat pada waktunya. Sekali lagi aku tertawa geli akan pesan Mbah Rogo yang begitu teknis dan detail. Dan lebih dari itu seakan Mbah Rogo tahu akan kehausan birahi dan penyelewenganku.
Sepulang dari dusun Melati di lereng Merapi itu, saat Mas Ganjar berada di rumah kami hampir-hampir tidak sempat memakai pakaian kami. Dan Mas Ganjar sendiri lebih sering berada di rumah serta tidak pernah lagi kluyuran mencari makam-makam keramat.
(Diceritakan oleh Sumiarsih, istri yang selalu merindukan pelukan suaminya)
Bersambung Ke bagian 4
ZIARAH MENCARI BERKAH
Seharusnya Mas Ganjar lebih mensyukuri hidupnya. Keadaan ekonomi keluarga kami boleh dibilang tidak ada kekurangan. Rumah dan perabotannya, mobil, beberapa hektar tanah dan sawah di berbagai lokasi telah kami miliki. Sementara usahanya tetap berjalan baik walaupun keadaan ekonomi umumnya sedang mengalami kesulitan yang besar. Tetapi dia selalu merasa kurang, selalu resah dan gelisah. Sampai-sampai dia nggak pernah lagi menyempatkan untuk menggauli aku sebagai pengisi kerinduan serta menyalurkan libidoku yang relatip masih tinggi ini. Aku sih mencoba memaklumi sepanjang upaya untuk meraih harta yang lebih banyak lagi itu dilakukan secara nalar yang sehat, bukan dengan yang dia selalu tempuh selama ini.
Setiap ada masalah dia bukan memperbaiki cara kerjanya dan berdo’a tetapi dia pergi ke dukun-lah, orang sakti-lah, tidur di kuburan-lah, berendam di kali-lah. Aku sungguh tidak mengerti dari mana dia belajar cara-cara seperti itu. Minggu depan ini rencana dia akan ziarah ke sebuah makam keramat Mbah Rogo di desa Melati di lereng Gunung Merapi. Dia minta aku menemaninya. Menurut Mas Ganjar yang diberi tahu oleh “orang tua”nya yang diberi tahu oleh “orang tua”nya lagi yang diberi tahu oleh “orang tuan”nya lagi lagi dan seterusnya, Mbah Rogo adalah prajurit Diponegoro yang kalah perang kemudian bertapa di lereng Gunung Merapi tempat dia dimakamkan kini. Karena kesaktiannya banyak orang yang punya hajat berziarah tidur di samping makamnya. Dia bilang bahwa para jenderal, para menteri, para gubernur dan bupati yang meraih sukses pasti sebelumnya ziarah dan tidur di samping makam Mbah Rogo itu. Aku tertawa bingung dan geli, katanya sakti kok kalah perang. Dan tak lagi bisa tertahan ketawaku meledak saat Mas Ganjar juga berniat tidur di samping kuburan Mbah Rogo.
Kalau soal jalan sih, aku senang-senang saja, hitung-hitung rekreasi, apalagi ke gunung, yang sudah jadi hobby petualanganku sejak SMP dulu. Setiap liburan sekolah mainanku nggak lain camping ke gunung, sampai teman-temanku menjuluki aku sebagai “peri gunung”. Aku bilang jangan ajak aku di kuburannya, nanti malahan aku masuk angin jadi merepotkan. Mas Ganjar menghiburku, bahwa walaupun di lereng Gunung Merapi, di desa Melati itu sudah didirikan hotel berbintang karena para kerabat para jendral, menteri dan macam-macam tadi biasanya ikut mengantarkan mereka yang berniat ziarah. Aku dijanjikan untuk nginap saja di hotel berbintang itu.
Singkat kata, pada jam 5 sore di suatu hari yang telah ditetapkan sebuah mobil Kijang di mana Mas Ganjar bersama istrinya, aku, nampak memasuki gerbang desa Melati. Mas Ganjar yang nyopir seharian itu tidak menunjukkan kelelahan. AC mobil kami matikan karena udara desa ini sangat sejuk dan segar. Bahkan aku merasa kedinginan.
Dengan penuh semangat dia menuju alamat rumah dimana temannya yang juga datang dari Jakarta telah lebih dahulu tiba dan menunggu di sana. Sesudah tanya sana-sini akhirnya kami memasuki halaman sebuah rumah joglo yang luas dan indah. Dan semakin indah karena dari beranda rumah itu kami bisa menyaksikan puncak Gunung Merapi yang selalu mengeluarkan asapnya.
Sesudah memarkir mobil kami menemui seseorang yang kebetulan berada di situ, Mas Ganjar menanyakan apakah Mas Tardjo yang temannya sudah berada disini. Orang tadi bergegas masuk dan tak lama kemudian keluar disertai dua orang lain. Yang satu gagah dan tinggi besar dengan kumisnya yang tebal melintang dan yang lain biasa-biasa saja. Mereka menyambut hangat Mas Ganjar yang kemudian memperkenalkan aku pada Mas Tardjo, ternyata yang berkumis melintang dan Mas Sardi penduduk asli dari desa itu. Aku agak terganggu pada cara memandang Mas Tardjo pada diriku. Matanya sepertinya hendak menelanjangi tubuhku. Aku mudah tergetar dengan pandangan lelaki semacam itu. Walaupun aku berusaha untuk tidak menunjukkan kegugupanku tak urung jantungku berdegup kencang juga. Aku paham dan sering mengalami bahwa pada umumnya lelaki kalau memandang aku selalu memandang dari segi tubuhku. Aku memang tidak cantik, tetapi setiap orang baik lelaki atau perempuan selalu memuji aku sebagai wanita yang manis dan seksi. Apalagi kalau aku pakai celan jeans seperti sekarang ini. Sehingga aku tidak begitu heran saat Mas Tardjo memandangi aku sepertinya ingin menikmati tubuhku.
Kemudian Mas Tardjo bersama Mas Sardi menujukkan kamar kami di rumah itu. Aku langsung komplain pada suamiku, Mas Ganjar, yang katanya aku akan diinapkan di hotel berbintang. Dia tidak bisa menjawab dengan jelas kecuali bahwa hotel yang dimaksud masih dalam perencanaan. Sebentar lagi, katanya dengan enteng. Aku jadi agak sebel.
Tetapi ketika kami memasuki kamar di rumah joglo itu seketika sebelku hilang. Kamar ini bukan main indahnya. Dengan perabot dan dekorasi tradisional dari jendelaku kembali aku bisa menikmati Gunung Merapi yang mengepulkan asapnya itu. Aku langsung senang dan kerasan. Aku keluarkan dan gantung baju-bajuku untuk ganti selama di perjalanan ini. Sementara Mas Ganjar mengatur rencananya yang mulai malam ini akan “prihatin”an, makan, minum dan tidur di samping kuburan Mbah Rogo selama 3 hari 3 malam berturut-turut sampai hari Jum’at Kliwon yang kebetulan juga malam bulan purnama yang diyakininya sebagai hari yang paling keramat.
Sebelum pergi ke makam yang lokasi dan pucuk atapnya nampak dari rumah joglo ini Mas Ganjar pesan kalau aku memerlukan sesuatu bisa minta bantuan Mas Sardi yang selalu berada di joglo ini pula. Selebihnya Mas Ganjar tahu persis bahwa aku adalah perempuan yang sangat percaya diri karena dia adalah partnerku setiap kali kami naik gunung dan berbagai petualangan yang lain jaman sama-sama masih remaja di SMP dulu.
Sepergi Mas Tardjo aku duduk sendiri di pendopo dalam cahaya lampu minyak di meja kecil di depanku menikmati sejuknya lereng Gunung Merapi ini. Aku senang dan bahagia berkesempatan mengalami suasana indahnya pedesaan seperti ini. Dari arah timur bulan menjelang purnama muncul di langit cerah ini Sesekali dari kegelapan sedikit ke atas sana nampak lelehan panas yang sangat spektakuler, itulah lahar Merapi yang terus muntah membawa berkah dan sesekali bencana bagi masyarakat di sekitar gunung ini. Ah, alangkah nikmatnya seandainya Mas Ganjar bukan tidur di kuburan tetapi duduk disampingku sini sambil memeluk memberi kehangat pada tubuhku. Terus terang hampir 2 bulan lebih dia nggak pernah menyentuhku apalagi menggauliku. Sehari-hari pikirannya hanya dikejar uang, harta, uang, harta, uang, harta, uang.
Tiba-tiba aku jadi ingat pandangan haus mata Mas Tardjo tadi. Aku maklum, seorang lelaki kalau sudah lebih dari 1 minggu meninggalkan istrinya pasti memandang siapapun atau bahkan apapun akan nampak cantik adanya. Dan dari yang aku dengar tadi hari ini adalah hari yang kesepuluh dia berada di desa Melati ini. Tentu saat dia melihatku serasa melihat bidadari jatuh dari langit. Bulu kudukku berdiri, sepertinya ada angin dingin yang meniupkan birahi di malam dining di lereng Merapi ini. Kulihat dalam cahaya bulan sesorang bergegas memasuki halaman joglo. Ternyata dia Mas Tardjo. Dia langsung masuk rumah, mungkin ada sesuatu yang mau diambil dari kamarnya. Tetapi beberapa menit kemudian aku mendengar langkah kaki memasuki lantai pendopo dan mendekat ketempat aku duduk sendiri ini. Aku tebak pasti dia.
“Bu Ganjar belum ngantuk? Nggak capai sesudah seharian di perjalanan?”.
Kemudian dia duduk di kursi sebelah depanku. Dalam cahaya lampu minyak ini nampak kumisnya yang tebal melintang. Dalam cahaya remang-remang lampu minyak seperti ini aku tidak perlu menyembunyikan wajahku yang terasa bengap karena darahku naik terdorong oleh pikiran-pikiranku tadi dan sedikit banyak juga semakin terdorong saat tiba-tiba Mas Tardjo, lelaki haus ini kini berada sangat dekat denganku.
Terus terang hatiku belum pernah merasa sesepi ini. Dan yang lebih gila lagi belum pernah jantungku bergetar seperti ini saat seorang lelaki yang bukan suamiku ada di dekatku. Mungkin karena malam yang dingin ini, atau karena lampu minyak yang remang-remang di pendopo ini, atau karena cahaya bulan yang menerangi tanah basah halaman joglo ini, atau karena gairah libidoku yang telah lebih dari 2 bulan tak tersalurkan ini. Dan tiba-tiba rasa bahagiaku yang mengawali saat aku duduk di pendopo ini tadi berubah jadi derita dan siksa. Rasa percaya diriku yang tak diragukan oleh Mas Ganjar suamiku kurasakan oleng. Aku kehilangan ketegaranku yang sering kurasakan saat-saat pendakian di karang terjal, tak takut untuk jatuh. Kini aku takut jatuh. Bukan jatuh dari ketinggian, tetapi jatuh dalam sepi dan kehausan yang nisbi. Tanpa terasa air mataku menggenang di pelupuk mataku dan tiba-tiba wajahku tertelungkup di meja kecil di depanku sambil aku menangis sesenggukan. Tentu saja Mas Tardjo kaget. Pertanyaan yang dia lontarkan padaku tadi kujawab dengan tangisanku.
“Kenapa bu, Bu Ganjar sakit?”.
Kemudian dia menghampiriku, menyentuh bahuku, memeluknya, kemudian mengangkat agar aku tegak kembali.
“Sebaiknya Bu Ganjar istrirahat. Mari kuantarkan ke kamar Ibu”.
Aku nggak tahu kenapa aku setuju saja dengan usulannya. Saat aku dibimbingnya untuk berdiri dari kursi dan kemudian sedikit dipapah saat menuju ke kamarku aku merasakan semacam ketenangan dari sebuah tempat perlindungan. Mas Tardjo seakan menggantikan peran Mas Ganjar yang seharusnya dalam saat-saat seperti ini berada di dekatku. Tanpa sadar tanganku berpegangan pada pinggangnya dan seketika rasa hangat tubuhnya mengalir ke tubuhku. Aku merasa kamarku yang hanya beberapa meter dari pendopo seakan demikian jauh.
Perjalanan dalam papahan Mas Tardjo yang hanya beberapa langkah ini seakan bermil-mil. Dan saat berada tepat di depan pintu sepertinya aku masih ingin berjalan lebih jauh lagi, tubuhku semakin menggelendot pada papahan Mas Tardjo yang kemudian dengan sigapnya meraih kakiku kemudian menggendongku memasuki kamar dan menidurkan aku ke ranjang. Tanganku yang otomatis memeluk lehernya saat dia menggendongku tak kulepaskan ketika Mas Tardjo hendak bangkit turun dari ranjangku. Pelukan itu aku pererat bahkan kutarik wajahnya mendekat kewajahku. Aku menginginkan perlindungan yang lebih dari dia. Aku mencium pipinya dan kemudian bibirnya. Aku belum pernah mencium bibir berkumis karena suamiku tidak berkumis. Saat aku merasakan aneh pada bibirku karena kumisnya, Mas Tardjo langsung menyambut ciumanku dengan lumatannya yang aku rasakan sangat nikmat dan sekaligus menyejukkan gejolak birahiku. Malam itu kami benar-benar tidak tidur dan saat pakaian-pakaian kami terlepas dari tubuh kami juga tak sempat memakainya lagi. Menjelang matahari terbit yang ditandai ayam berkokok di dusun Melati di lereng Merapi ini kami tertidur telanjang dalam selimut tebal yang tersedia di ranjang kami. Sejak hari itu, selama 3 hari 3 malam Mas Ganjar “bertapa” di makam, aku dan Mas Tardjo terus menerus mendayung nikmat dalam samudra nafsu birahi kami yang melanda bak badai tornado di lautan bebas.
Dalam perjalanan pulang Mas Ganjar menceritakan bahwa dia mendapatkan wangsit dalam bentuk mimpi saat tertidur di makam. Dia seakan didatangi seorang kakek berjubah putih, dia adalah Mbah Rogo, yang memberikan pesan apabila permintaan Mas Ganjar ingin terpenuhi, dia harus memperbanyak “bertapa” dirumah dan memberikan amal lebih banyak kepada para karyawannya melalui gaji yang cukup dan membayar mereka tepat pada waktunya. Sekali lagi aku tertawa geli akan pesan Mbah Rogo yang begitu teknis dan detail. Dan lebih dari itu seakan Mbah Rogo tahu akan kehausan birahi dan penyelewenganku.
Sepulang dari dusun Melati di lereng Merapi itu, saat Mas Ganjar berada di rumah kami hampir-hampir tidak sempat memakai pakaian kami. Dan Mas Ganjar sendiri lebih sering berada di rumah serta tidak pernah lagi kluyuran mencari makam-makam keramat.
(Diceritakan oleh Sumiarsih, istri yang selalu merindukan pelukan suaminya)
Bersambung Ke bagian 4