Dari bagian 1 Peristiwa kedua
PULANG MUDIK
Sejak berkeluarga dan tinggal di Jakarta aku selalu sempatkan pulang mudik menengok orang tua di Yogyakarta setiap hari raya Idul Fitri. Aku paling suka mudik dengan mobil sendiri. Saat anak-anakku masih kecil aku menyupir sendiri sampai ke rumah orang tua. Kemudian saat anakku sudah besar dan dewasa, merekalah yang bawa mobil.
Kalau pulang mudik aku paling senang lewat jalur selatan yang tidak begitu ramai dan jarang ada kemacetan. Dan yang paling aku suka adalah saat aku melewati desa Redjo Legi menjelang masuk kota Purworejo. Disitu tinggal pamanku, yang aku biasa panggil Pak Lik, dia adik sepupu bapakku. Aku sangat akrab dengannya karena anaknya yang seumur denganku indekost di rumahku. Kalau hari libur aku sering diajak pulang ke Redjo Legi cari belut. Depan rumahnya yang hingga kini masih merupakan sawah yang terbentang selalu ada belut untuk kami tangkap dan goreng.
Nostalgia macam itulah yang membuat aku selalu ingin mengenang kembali masa kecilku dengan menyempatkan mampir kerumah Pak Lik setiap aku pulang mudik. Dan ada yang tidak berubah di rumah Pak Lik sejak aku kecil dulu, yaitu rumahnya yang berdinding gedek kulit bambu itu. Indahnya gedek macam itu adalah fungsi sirkulasi udaranya sangat bagus karena gedeknya itu bercelah-celah akibat jalinan bambu yang tidak mungki bisa rapat benar. Dan saat pagi hari matahari akan menembusi gedek itu sehingga panasnya cukup untuk membangunkan kami yang maunya masih bermalas-malas di amben, istilah setempat untuk balai-balai yang terbuat dari bambu. Kondisi dan suasana itulah pulalah yang semakin membuat aku selalu mampir di rumah Pak Lik setiap aku pulang mudik. Dan walaupun saat usianya sudah lebih dari 50 tahun atau 20 tahun di atas saya, tetapi Pak Lik tetap nampak gagah dan sehat.
Dua tahun yang lalu Bu Lik meninggal dunia karena sakit sehingga kini Pak Lik menjadi duda. Untuk menopang kegiatannya sehari-hari Pak Lik dibantu pelayan kecil dari kampungnya untuk mencuci pakaiannya dan masak ala kadarnya. Apabila sudah tidak ada lagi yang dikerjakan dia pulang ke rumahnya yang tidak jauh dari rumah Pak Lik. Akhirnya Pak Lik menjadi terbiasa hidup sendirian di rumahnya. Sanak saudaranya yang menyarankan untuk kawin lagi agar ada perempuan yang membuatkan kopi di pagi hari atau menjadi teman saat bertandang ke sanak keluarga, tetapi Pak Lik belum juga menemukan jodohnya yang sesuai dengan keinginan hatinya. Walaupun pendidikannya cukup tinggi, waktu itu sudah menyandang titel BA atau sarjana muda, kegiatannya sehari-hari dari dulu hingga kini adalah tani. Dia menggarap sendiri sawahnya.
Tahun ini aku dan istriku terpaksa pulang mudik berdua saja. Anak-anakku punya acara sendiri bersama teman-temannya yang susah aku pengaruhi untuk ikut menemani kami. Ya, sudah. Aku nggak suka memaksa-maksa anak. Mereka perlu dewasa dan belajar mengambil keputusan sendiri. Menjelang masuk kota Kroya jam menunjukkan pukul 2 siang saat aku merasa agak tidak enak badan. Badanku agak demam dan kepalaku pusing. Sambil pesan agar nyopirnya nggak usah buru-buru, istriku memberi obat berupa puyer anti masuk angin yang selalu dia bawa saat bepergian jauh. Sesudah aku meminumnya rasa badanku agak lumayan, pusingku sedikit berkurang. Tetapi tetap saja tidak senyaman kalau badan lagi benar-benar sehat. Menjelang memasuki desa Redjo Legi menuju rumah Pak Lik aku merasakan sakitku tak bisa tertahan lagi. Kupaksakan terus jalan pelan-pelan hingga tepat jam 5 sore mobilku memasuki halaman rumah Pak Lik yang dengan penuh kehangatan menyambut kami.
Ketika dia tahu aku sakit, dia panggil embok-embok di kampungnya yang biasa mijit dan kerokan, kebiasaan orang Jawa kalau sakit badannya di kerok dengan mata uang logam untuk mengeluarkan anginnya. Ketika sakitku tidak berkurang juga akhirnya istriku membawa aku ke dokter yang tidak jauh dari rumah Pak Lik. Aku dikasih obat dan disuruh banyak istirahat dan tidur. Sepulang dari dokter Pak Lik sudah merepotkan dirinya dengan menyediakan makan malam. Sebelum minum obat istriku menyuruh aku makan dulu barang sedikit. Dan seusai aku minum obat, aku langsung diserang kantuk yang luar biasa. Rupanya dokter telah memberikan obat tidur padaku. Aku langsung tertidur pulas.
Sekitar pukul 2 atau 3 malam, aku tidak begitu pasti, aku dibangunkan oleh suara berisik amben bambu dibarengi suara rintihan dan desahan halus dari sebelah dinding kamarku. Kantukku masih sangat memberati mataku. Aku meraba-raba istriku tetapi tak kutemukan, mungkin dia sedang turun kencing. Di rumah Pak Lik kamar-kamar tidurnya tidak dilengkapi lampu. Cahaya dalam kamar cukup didapat dari imbas lampu di ruang tamu yang sekaligus ruang keluarga yang tembus ke dinding bambu yang banyak celah lubangnya itu. Suara amben yang terus mengganggu kupingku memaksa aku mengintip ke celah dinding. Apa yang kemudian aku lihat langsung memukul diriku. Aku terpana dan limbung. Kepalaku yang pusing karena sakit langsung kambuh. Aku kembali terkapar dengan jantungku yang berdegup cepat dan keras. Benarkah Dik Narti istriku telah tega mengkhianati aku? Benarkah Pak Lik yang aku selalu baik padanya telah tega menggauli istriku yang mestinya dianggap sama dengan istri anaknya juga? Apakah kekuranganku Dik Narti? Apakah karena kesibukkanku yang selalu merampas waktuku sehingga kamu merasa berhak untuk menerima orang lain? Apakah karena hanya itu sebagaimana yang sering kamu keluhkan padaku? Ataukah Pak Lik yang sudah 2 tahun men-duda telah membujuk rayu padamu dan kamu tak mampu menolaknya? Ah, sejuta pertanyaan yang aku nggak mampu menjawabnya karena semakin menambah pusing kepalaku. Sementara berisik amben itu semakin tak terkendali. Dan rintihan Dik Narti serta desahan berat Pak Lik semakin jelas di kupingku. Aku tak mampu bangun karena obat yang aku minum membuat aku limbung kalau nggak ada yang menuntunku. Aku hanya bisa kembali ngintip dari celah dinding itu.
Kulihat Pak Lik sedang mengayun-ayun kontolnya yang lumayan gede ke lubang memek istriku sambil mencium Dik Narti penuh nafsu. Sementara Dik Narti memegangi dan meremas rambut Pak Lik untuk memastikan bibir-bibir mereka bisa tetap saling berpagut dan melumat. Suara kecupan saat bibir yang satu terlepas dari bibir yang lain kudengar terus beruntun. Sementara ayunan kontol Pak Lik yang semakin menghunjam-hunjam vagina istriku semakin membuat ambennya menjadi lebih berisik lagi.
“Pak Lik, Pak Lik, enaakk Pak Lik.. teruss Pak Lik.. oocchh.. hhmm.. Pak Lik..”, duh, rintihan Dik Narti yang sedemikian menikmati derita birahinya membuatku kepalaku semakin terpukul-pukul.
Darah yang naik ke kepalaku semakin membuatku pusing yang sedemikian hebatnya.
Dan desahan Pak Lik sendiri nggak kalah hebatnya. Sebagai lelaki sehat yang telah men-duda lebih dari 2 tahun tentu kandungan libidonya sangat menumpuk. Bukan tidak mungkin dialah yang memulai dan melemparkan bujuk rayu pada istriku sementara dia tahu aku nggak akan mudah terbangun karena obat tidurku ini. Kembali aku ngintip ke dinding. Kulihat buah dada dan istriku yang masih demikian ranum dengan pentilnya yang tegak kencang menusuk ke depan sudah terbongkar dari kantung BH-nya. Itu pasti ulah Pak Lik yang membetotnya keluar untuk dia lumat-lumat bukitnya dan sedoti pentilnya hingga kuyup oleh ludahnya. Kulihat bagaimana ketiak istriku yang terbuka saat memegangi kepala dan meremasi rambut Pak Lik. Pasti lidah dan ludah Pak Lik juga sudah melumati dan menjilati hingga basah kuyup pada ketiak Dik Narti yang sangat sensual itu. Kembali aku ambruk ke ambenku.
Rasa nyut-nyut di kepalaku sangat menyakitkan. Tanganku berusaha memijit-mijt untuk mengurangi rasa sakitnya. Tetapi setiap kali aku tergoda untuk kembali ngintip di lubang dinding. Kulihat kontol Pak Lik serasa semakin sesak menembusi vagina Dik Narti. Dia tarik keluar pelan dengan dibarengi desahan beratnya dan rintihan Dik Narti, kemudian mendorongnya masuk kembali dengan desahan dan rintihan mereka lagi. Dia lakukan itu berulang-ulang dan desahan serta rintihannya juga terdengar mengulang-ulang. Kemudian kulihat tusukan kontol Pak Lik makin dipercepat. Mungkin kegatalannya pada kelamin-kelamin mereka makin menjadi-jadi. Pak Lik tidak lagi melumati bibir Dik Narti. Dia turun dari amben dan mengangkat satu tungkai kaki istriku dan mengangkat hingga menyentuh dadanya. Dengan cara itu Pak Lik bisa lebih dalam menghunjamkan kontolnya ke memek istriku Dik Narti. Dan akibatnya kenikmatan yang tak terperi melanda istriku. Dia meremasi sendiri susunya sambil kepalanya yang rambutnya telah amburadul acak-acakan terus bergoyang ke kanan dan ke kiri menahan siksa nikmat yang terperi. Racauan terus keluar dari mulutnya. Mereka sudah sangat lupa diri. Mereka sudah tidak lagi memperhitungkan aku yang suaminya atau keponakannya yang kini berada di sebelah dinding dan tengah tergeletak sakit hampir mati.
Kenikmatan nafsu birahi telah menghempaskan mereka ke sifat kebinatangan yang tak mengenal lagi ada rasa iba, martabat, hormat dan menghargai norma-norma hidup sebagaimana mestinya. Mereka sudah hangus terbakar dan berubah sifatnya menjadi gumpalan nafsu setan gentayangan. Aku terbatuk-batuk dan mual. Pusing kepalaku langsung menghebat. Dengan suara yang sengaja kukeraskan aku mengeluarkan dahakku yang kemudian disusul dengan muntah-muntah. Aku berharap dengan tindakakanku itu segalanya menjadi berhenti. Mereka pasti akan bergegas menolong aku. Tetapi suara amben itu justru makin cepat dan kencang. Sehingga kini ada dua sumber berisik di dalam rumah Pak Lik ini. Suaraku yang orang sakit dan memerlukan pertolongan di kamar sebelah sini dan suara yang berkejar-kejaran dengan nafsu setan di kamar di sebelah sana.
Aku tahu mereka dalam keadaan tanggung. Puncak nikmat sudah dekat dan nafsu birahi untuk memuntahkan segalanya sudah di ubun-ubun. Mereka pasti berpikir, biarkan saja aku menunggu. Dan ketika saat puncak mereka akhirnya hadir suara-suara di rumah ini benar-benar gaduh. Aku yang muntah-muntah tanpa henti dengan suaraku seperi babi yang disembelih bercampur dengan suara Pak Lik bersama istriku berteriak histeris menerima kenyataan nikmat dari orgasme yang mereka raih. Untuk sesaat suara amben masih terdengar berisik untuk kemudian reda dan sunyi. Sementara disini aku masih mengeluarkan suara dari batukku disertai dengan rasa mau muntah yang keluar dari tenggorokanku.
Akhirnya istriku muncul di pintu. Dipegangnya kepalaku. Ah, kok makin panas mas, obatnya diminum lagi ya, katanya. Kemudian dengan kuat tangannya meringkus aku dan memaksakan obat cair masuk ke mulutku. Aku terlampau lemah untuk menolaknya. Saat jari-jarinya memencet hidungku kesulitan nafasku memaksa aku menelan seluruh obat yang telah berada dalam rongga mulutku. Kemudian disuruhnya aku minum air hangat. Sebelum air itu habis kuteguk aku sudah kembali jatuh tertidur pulas. Dan aku nggak punya alibi sedikitpun atas apa yang selanjutnya terjadi di rumah ini hingga 6 jam kemudian saat aku terbangun.
Jam 9 pagi esoknya aku terbangun lemah. Pertama-tama yang kulihat adalah dinding dimana aku mengintai selingkuh istriku dengan Pak Lik. Aku marah pada dinding itu. Kenapa begitu banyak lubangnya sehingga aku bisa mengintip. Dan aku juga marah pada diriku kenapa aku yang sakit ini masih pengin mengintip ke dinding itu dan menyaksikan istriku menanggung nikmat saat kontol Pak Lik menggojlok kemaluannya. Tapi saat aku ingin teriak karena marah besarku istriku dia muncul di pintu. Pandangan matanya aku rasakan sangat lembut. Dia mendekat dan duduk di ambenku. Dia ganti kompres di kepalaku dengan elusan tangannya yang lembut sambil berkata,
“Mas Roso (begitu dia memanggilku) semalaman mengigau terus. Panas badannya tinggi. Aku jadi takut dan khawatir. Pak Lik bilang supaya aku ambil air dan kain untuk mengompres kepala Mas Roso”.
Saat mendengar mulutnya menyebut Pak Lik yang aku ingat betul nada suara dan pengucapannya persis sebagaimana aku dengar saat dia meracau penuh nikmat tadi malam, seketika darahku mendidih dan tanganku langsung mencekal blusnya dan ingin membantingnya ke tanah. Tetapi senyum teduhnya kembali hadir di bibirnya,
“Hah, apa lagi mas, apa lagi yang dirasakan, sayang”, ucapnya lembut tanpa prasangka dengan mukanya yang nampak tetap suci bersih.
Langsung didih darahku surut. Aku tak mampu melawan kelembutan dan senyumnya itu. Kutanyakan padanya di mana Pak Lik sekarang. Dia bilang Pak Lik ke sawah. Hari ini giliran dia untuk membuka pematang agar air mengalir kesawahnya. Dia juga bilang agar aku banyak istirahat saja dulu. Dia sudah menelpon orang tua di Yogya dari kantor telepon, mengabarkan bahwa aku sakit dan akan istirahat dulu di Redjo Legi. Kemudian dia beranjak dan kembali dengan sepiring bubur sum-sum, aku disuapinya.
Aku jadi berpikir apa yang sesungguhnya terjadi tadi malam. Apakah panas badanku yang sedemikian rupa telah membawaku ke alam mimpi sampai aku mengigau sepanjang malam sebagaimana kata istriku, ataukah perselingkuhan Pak Lik dengan istriku itu memang benar-benar sebuah kenyataan? Kembali kepalaku berputar-putar rasanya. Istriku kembali men’cekok’i aku dengan obatnya. Dan aku kembali tertidur. Sebelum aku lelap benar, istriku dengan penuh kasih memeluk aku, mengelusi kepalaku sambil mendekatkan kedadanya. Pada saat itu aku merasakan semburat aroma yang lembut menerjang ke hidungku. Aroma itu aku yakini adalah aroma ludah yang telah mengering pada buah dada dan bagian tubuh istriku yang lain. Tetapi obat tidurku tak memberi kesempatan padaku untuk melek lebih lama. Aku kembali pulas tertidur. Sampai kini, 6 bulan sesudah pulang mudikku itu, aku tetap tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Dan aku tidak mempunyai alibi apapun untuk mempertanyakan keinginan tahuku pada istriku. Yang mungkin bisa dan perlu aku lakukan adalah memilih jalur utara yang padat saat pulang mudik yang akan datang.
(Diceritakan kembali oleh Pak Roso)
Bersambung Ke bagian 3
PULANG MUDIK
Sejak berkeluarga dan tinggal di Jakarta aku selalu sempatkan pulang mudik menengok orang tua di Yogyakarta setiap hari raya Idul Fitri. Aku paling suka mudik dengan mobil sendiri. Saat anak-anakku masih kecil aku menyupir sendiri sampai ke rumah orang tua. Kemudian saat anakku sudah besar dan dewasa, merekalah yang bawa mobil.
Kalau pulang mudik aku paling senang lewat jalur selatan yang tidak begitu ramai dan jarang ada kemacetan. Dan yang paling aku suka adalah saat aku melewati desa Redjo Legi menjelang masuk kota Purworejo. Disitu tinggal pamanku, yang aku biasa panggil Pak Lik, dia adik sepupu bapakku. Aku sangat akrab dengannya karena anaknya yang seumur denganku indekost di rumahku. Kalau hari libur aku sering diajak pulang ke Redjo Legi cari belut. Depan rumahnya yang hingga kini masih merupakan sawah yang terbentang selalu ada belut untuk kami tangkap dan goreng.
Nostalgia macam itulah yang membuat aku selalu ingin mengenang kembali masa kecilku dengan menyempatkan mampir kerumah Pak Lik setiap aku pulang mudik. Dan ada yang tidak berubah di rumah Pak Lik sejak aku kecil dulu, yaitu rumahnya yang berdinding gedek kulit bambu itu. Indahnya gedek macam itu adalah fungsi sirkulasi udaranya sangat bagus karena gedeknya itu bercelah-celah akibat jalinan bambu yang tidak mungki bisa rapat benar. Dan saat pagi hari matahari akan menembusi gedek itu sehingga panasnya cukup untuk membangunkan kami yang maunya masih bermalas-malas di amben, istilah setempat untuk balai-balai yang terbuat dari bambu. Kondisi dan suasana itulah pulalah yang semakin membuat aku selalu mampir di rumah Pak Lik setiap aku pulang mudik. Dan walaupun saat usianya sudah lebih dari 50 tahun atau 20 tahun di atas saya, tetapi Pak Lik tetap nampak gagah dan sehat.
Dua tahun yang lalu Bu Lik meninggal dunia karena sakit sehingga kini Pak Lik menjadi duda. Untuk menopang kegiatannya sehari-hari Pak Lik dibantu pelayan kecil dari kampungnya untuk mencuci pakaiannya dan masak ala kadarnya. Apabila sudah tidak ada lagi yang dikerjakan dia pulang ke rumahnya yang tidak jauh dari rumah Pak Lik. Akhirnya Pak Lik menjadi terbiasa hidup sendirian di rumahnya. Sanak saudaranya yang menyarankan untuk kawin lagi agar ada perempuan yang membuatkan kopi di pagi hari atau menjadi teman saat bertandang ke sanak keluarga, tetapi Pak Lik belum juga menemukan jodohnya yang sesuai dengan keinginan hatinya. Walaupun pendidikannya cukup tinggi, waktu itu sudah menyandang titel BA atau sarjana muda, kegiatannya sehari-hari dari dulu hingga kini adalah tani. Dia menggarap sendiri sawahnya.
Tahun ini aku dan istriku terpaksa pulang mudik berdua saja. Anak-anakku punya acara sendiri bersama teman-temannya yang susah aku pengaruhi untuk ikut menemani kami. Ya, sudah. Aku nggak suka memaksa-maksa anak. Mereka perlu dewasa dan belajar mengambil keputusan sendiri. Menjelang masuk kota Kroya jam menunjukkan pukul 2 siang saat aku merasa agak tidak enak badan. Badanku agak demam dan kepalaku pusing. Sambil pesan agar nyopirnya nggak usah buru-buru, istriku memberi obat berupa puyer anti masuk angin yang selalu dia bawa saat bepergian jauh. Sesudah aku meminumnya rasa badanku agak lumayan, pusingku sedikit berkurang. Tetapi tetap saja tidak senyaman kalau badan lagi benar-benar sehat. Menjelang memasuki desa Redjo Legi menuju rumah Pak Lik aku merasakan sakitku tak bisa tertahan lagi. Kupaksakan terus jalan pelan-pelan hingga tepat jam 5 sore mobilku memasuki halaman rumah Pak Lik yang dengan penuh kehangatan menyambut kami.
Ketika dia tahu aku sakit, dia panggil embok-embok di kampungnya yang biasa mijit dan kerokan, kebiasaan orang Jawa kalau sakit badannya di kerok dengan mata uang logam untuk mengeluarkan anginnya. Ketika sakitku tidak berkurang juga akhirnya istriku membawa aku ke dokter yang tidak jauh dari rumah Pak Lik. Aku dikasih obat dan disuruh banyak istirahat dan tidur. Sepulang dari dokter Pak Lik sudah merepotkan dirinya dengan menyediakan makan malam. Sebelum minum obat istriku menyuruh aku makan dulu barang sedikit. Dan seusai aku minum obat, aku langsung diserang kantuk yang luar biasa. Rupanya dokter telah memberikan obat tidur padaku. Aku langsung tertidur pulas.
Sekitar pukul 2 atau 3 malam, aku tidak begitu pasti, aku dibangunkan oleh suara berisik amben bambu dibarengi suara rintihan dan desahan halus dari sebelah dinding kamarku. Kantukku masih sangat memberati mataku. Aku meraba-raba istriku tetapi tak kutemukan, mungkin dia sedang turun kencing. Di rumah Pak Lik kamar-kamar tidurnya tidak dilengkapi lampu. Cahaya dalam kamar cukup didapat dari imbas lampu di ruang tamu yang sekaligus ruang keluarga yang tembus ke dinding bambu yang banyak celah lubangnya itu. Suara amben yang terus mengganggu kupingku memaksa aku mengintip ke celah dinding. Apa yang kemudian aku lihat langsung memukul diriku. Aku terpana dan limbung. Kepalaku yang pusing karena sakit langsung kambuh. Aku kembali terkapar dengan jantungku yang berdegup cepat dan keras. Benarkah Dik Narti istriku telah tega mengkhianati aku? Benarkah Pak Lik yang aku selalu baik padanya telah tega menggauli istriku yang mestinya dianggap sama dengan istri anaknya juga? Apakah kekuranganku Dik Narti? Apakah karena kesibukkanku yang selalu merampas waktuku sehingga kamu merasa berhak untuk menerima orang lain? Apakah karena hanya itu sebagaimana yang sering kamu keluhkan padaku? Ataukah Pak Lik yang sudah 2 tahun men-duda telah membujuk rayu padamu dan kamu tak mampu menolaknya? Ah, sejuta pertanyaan yang aku nggak mampu menjawabnya karena semakin menambah pusing kepalaku. Sementara berisik amben itu semakin tak terkendali. Dan rintihan Dik Narti serta desahan berat Pak Lik semakin jelas di kupingku. Aku tak mampu bangun karena obat yang aku minum membuat aku limbung kalau nggak ada yang menuntunku. Aku hanya bisa kembali ngintip dari celah dinding itu.
Kulihat Pak Lik sedang mengayun-ayun kontolnya yang lumayan gede ke lubang memek istriku sambil mencium Dik Narti penuh nafsu. Sementara Dik Narti memegangi dan meremas rambut Pak Lik untuk memastikan bibir-bibir mereka bisa tetap saling berpagut dan melumat. Suara kecupan saat bibir yang satu terlepas dari bibir yang lain kudengar terus beruntun. Sementara ayunan kontol Pak Lik yang semakin menghunjam-hunjam vagina istriku semakin membuat ambennya menjadi lebih berisik lagi.
“Pak Lik, Pak Lik, enaakk Pak Lik.. teruss Pak Lik.. oocchh.. hhmm.. Pak Lik..”, duh, rintihan Dik Narti yang sedemikian menikmati derita birahinya membuatku kepalaku semakin terpukul-pukul.
Darah yang naik ke kepalaku semakin membuatku pusing yang sedemikian hebatnya.
Dan desahan Pak Lik sendiri nggak kalah hebatnya. Sebagai lelaki sehat yang telah men-duda lebih dari 2 tahun tentu kandungan libidonya sangat menumpuk. Bukan tidak mungkin dialah yang memulai dan melemparkan bujuk rayu pada istriku sementara dia tahu aku nggak akan mudah terbangun karena obat tidurku ini. Kembali aku ngintip ke dinding. Kulihat buah dada dan istriku yang masih demikian ranum dengan pentilnya yang tegak kencang menusuk ke depan sudah terbongkar dari kantung BH-nya. Itu pasti ulah Pak Lik yang membetotnya keluar untuk dia lumat-lumat bukitnya dan sedoti pentilnya hingga kuyup oleh ludahnya. Kulihat bagaimana ketiak istriku yang terbuka saat memegangi kepala dan meremasi rambut Pak Lik. Pasti lidah dan ludah Pak Lik juga sudah melumati dan menjilati hingga basah kuyup pada ketiak Dik Narti yang sangat sensual itu. Kembali aku ambruk ke ambenku.
Rasa nyut-nyut di kepalaku sangat menyakitkan. Tanganku berusaha memijit-mijt untuk mengurangi rasa sakitnya. Tetapi setiap kali aku tergoda untuk kembali ngintip di lubang dinding. Kulihat kontol Pak Lik serasa semakin sesak menembusi vagina Dik Narti. Dia tarik keluar pelan dengan dibarengi desahan beratnya dan rintihan Dik Narti, kemudian mendorongnya masuk kembali dengan desahan dan rintihan mereka lagi. Dia lakukan itu berulang-ulang dan desahan serta rintihannya juga terdengar mengulang-ulang. Kemudian kulihat tusukan kontol Pak Lik makin dipercepat. Mungkin kegatalannya pada kelamin-kelamin mereka makin menjadi-jadi. Pak Lik tidak lagi melumati bibir Dik Narti. Dia turun dari amben dan mengangkat satu tungkai kaki istriku dan mengangkat hingga menyentuh dadanya. Dengan cara itu Pak Lik bisa lebih dalam menghunjamkan kontolnya ke memek istriku Dik Narti. Dan akibatnya kenikmatan yang tak terperi melanda istriku. Dia meremasi sendiri susunya sambil kepalanya yang rambutnya telah amburadul acak-acakan terus bergoyang ke kanan dan ke kiri menahan siksa nikmat yang terperi. Racauan terus keluar dari mulutnya. Mereka sudah sangat lupa diri. Mereka sudah tidak lagi memperhitungkan aku yang suaminya atau keponakannya yang kini berada di sebelah dinding dan tengah tergeletak sakit hampir mati.
Kenikmatan nafsu birahi telah menghempaskan mereka ke sifat kebinatangan yang tak mengenal lagi ada rasa iba, martabat, hormat dan menghargai norma-norma hidup sebagaimana mestinya. Mereka sudah hangus terbakar dan berubah sifatnya menjadi gumpalan nafsu setan gentayangan. Aku terbatuk-batuk dan mual. Pusing kepalaku langsung menghebat. Dengan suara yang sengaja kukeraskan aku mengeluarkan dahakku yang kemudian disusul dengan muntah-muntah. Aku berharap dengan tindakakanku itu segalanya menjadi berhenti. Mereka pasti akan bergegas menolong aku. Tetapi suara amben itu justru makin cepat dan kencang. Sehingga kini ada dua sumber berisik di dalam rumah Pak Lik ini. Suaraku yang orang sakit dan memerlukan pertolongan di kamar sebelah sini dan suara yang berkejar-kejaran dengan nafsu setan di kamar di sebelah sana.
Aku tahu mereka dalam keadaan tanggung. Puncak nikmat sudah dekat dan nafsu birahi untuk memuntahkan segalanya sudah di ubun-ubun. Mereka pasti berpikir, biarkan saja aku menunggu. Dan ketika saat puncak mereka akhirnya hadir suara-suara di rumah ini benar-benar gaduh. Aku yang muntah-muntah tanpa henti dengan suaraku seperi babi yang disembelih bercampur dengan suara Pak Lik bersama istriku berteriak histeris menerima kenyataan nikmat dari orgasme yang mereka raih. Untuk sesaat suara amben masih terdengar berisik untuk kemudian reda dan sunyi. Sementara disini aku masih mengeluarkan suara dari batukku disertai dengan rasa mau muntah yang keluar dari tenggorokanku.
Akhirnya istriku muncul di pintu. Dipegangnya kepalaku. Ah, kok makin panas mas, obatnya diminum lagi ya, katanya. Kemudian dengan kuat tangannya meringkus aku dan memaksakan obat cair masuk ke mulutku. Aku terlampau lemah untuk menolaknya. Saat jari-jarinya memencet hidungku kesulitan nafasku memaksa aku menelan seluruh obat yang telah berada dalam rongga mulutku. Kemudian disuruhnya aku minum air hangat. Sebelum air itu habis kuteguk aku sudah kembali jatuh tertidur pulas. Dan aku nggak punya alibi sedikitpun atas apa yang selanjutnya terjadi di rumah ini hingga 6 jam kemudian saat aku terbangun.
Jam 9 pagi esoknya aku terbangun lemah. Pertama-tama yang kulihat adalah dinding dimana aku mengintai selingkuh istriku dengan Pak Lik. Aku marah pada dinding itu. Kenapa begitu banyak lubangnya sehingga aku bisa mengintip. Dan aku juga marah pada diriku kenapa aku yang sakit ini masih pengin mengintip ke dinding itu dan menyaksikan istriku menanggung nikmat saat kontol Pak Lik menggojlok kemaluannya. Tapi saat aku ingin teriak karena marah besarku istriku dia muncul di pintu. Pandangan matanya aku rasakan sangat lembut. Dia mendekat dan duduk di ambenku. Dia ganti kompres di kepalaku dengan elusan tangannya yang lembut sambil berkata,
“Mas Roso (begitu dia memanggilku) semalaman mengigau terus. Panas badannya tinggi. Aku jadi takut dan khawatir. Pak Lik bilang supaya aku ambil air dan kain untuk mengompres kepala Mas Roso”.
Saat mendengar mulutnya menyebut Pak Lik yang aku ingat betul nada suara dan pengucapannya persis sebagaimana aku dengar saat dia meracau penuh nikmat tadi malam, seketika darahku mendidih dan tanganku langsung mencekal blusnya dan ingin membantingnya ke tanah. Tetapi senyum teduhnya kembali hadir di bibirnya,
“Hah, apa lagi mas, apa lagi yang dirasakan, sayang”, ucapnya lembut tanpa prasangka dengan mukanya yang nampak tetap suci bersih.
Langsung didih darahku surut. Aku tak mampu melawan kelembutan dan senyumnya itu. Kutanyakan padanya di mana Pak Lik sekarang. Dia bilang Pak Lik ke sawah. Hari ini giliran dia untuk membuka pematang agar air mengalir kesawahnya. Dia juga bilang agar aku banyak istirahat saja dulu. Dia sudah menelpon orang tua di Yogya dari kantor telepon, mengabarkan bahwa aku sakit dan akan istirahat dulu di Redjo Legi. Kemudian dia beranjak dan kembali dengan sepiring bubur sum-sum, aku disuapinya.
Aku jadi berpikir apa yang sesungguhnya terjadi tadi malam. Apakah panas badanku yang sedemikian rupa telah membawaku ke alam mimpi sampai aku mengigau sepanjang malam sebagaimana kata istriku, ataukah perselingkuhan Pak Lik dengan istriku itu memang benar-benar sebuah kenyataan? Kembali kepalaku berputar-putar rasanya. Istriku kembali men’cekok’i aku dengan obatnya. Dan aku kembali tertidur. Sebelum aku lelap benar, istriku dengan penuh kasih memeluk aku, mengelusi kepalaku sambil mendekatkan kedadanya. Pada saat itu aku merasakan semburat aroma yang lembut menerjang ke hidungku. Aroma itu aku yakini adalah aroma ludah yang telah mengering pada buah dada dan bagian tubuh istriku yang lain. Tetapi obat tidurku tak memberi kesempatan padaku untuk melek lebih lama. Aku kembali pulas tertidur. Sampai kini, 6 bulan sesudah pulang mudikku itu, aku tetap tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Dan aku tidak mempunyai alibi apapun untuk mempertanyakan keinginan tahuku pada istriku. Yang mungkin bisa dan perlu aku lakukan adalah memilih jalur utara yang padat saat pulang mudik yang akan datang.
(Diceritakan kembali oleh Pak Roso)
Bersambung Ke bagian 3